Beberapa waktu yang lalu saya melontarkan sebuah pertanyaan di FB pribadi. Kalian ingin aku menulis tentang apa di blog? Demikian pertanyaan saya. Beberapa teman menjawab. Saya sudah menduga beberapa jawaban di antaranya, namun ada 1 yang menggelitik. Tulis tentang rencana setelah PTT. Ini saran yang menarik, dan sepertinya aku akan menjawabnya di sini.
Pertama, kujelaskan sedikit tentang awal mula aku PTT di sini. Setelah selesai internship, aku menjadi pengangguran di rumah. Paling-paling cuma jaga di sebuah klinik kecil dua kali seminggu dengan imbalan yang sekadarnya saja. Orang tua saya menyadari inaktivitas anaknya yang satu ini, dan berkeras agar aku segera melanjutkan ke jenjang karir yang lebih tinggi. Salah satu alasan utamanya adalah agar jangan sampai usia muda disia-siakan (intermezo: saat itu saya berusia sekitar 26 tahun, dan sebenarnya saya sudah mulai meragukan paham bahwa saya masih “muda”). Ketika itu juga bisa dibilang masa-masa awal beasiswa LPDP sedang booming. Dan orang tua saya bilang, mengapa tidak dicoba? Waktu itu saya masih enggan untuk menjalani tes dan seleksi untuk urusan apapun, entah itu untuk cari beasiswa, sekolah, kerja, atau lainnya. Di samping karena malas, juga karena curriculum vitae masih bisa dibilang kosong. Orang tua cuma memberi 2 opsi: masuk PPDS dengan LPDP, atau PTT. Pilihan pertama berarti harus ikut 2 tes untuk beasiswa dan sekolah, dengan probabilitas yang tidak terlalu tinggi karena CV yang kosong. Pilihan kedua berarti mencari pengalaman dan tabungan sendiri. Saya memilih pilihan kedua.
Tentu awalnya terasa berat. Namun tetap ada hal yang disyukuri. Bertepatan dengan saya memulai PTT, gaji dokter PTT naik sekitar 50%, kenaikan yang amat signifikan. Sebagai tambahan, tampaknya angkatan PTT saya adalah angkatan terakhir program PTT kemenkes. Dengan kata lain, andaikan saya tidak mengambil kesempatan ini, saya tidak akan bisa ikut PTT kemenkes.
Demikianlah, saya menjalani PTT dengan sebuah mindset. PTT dulu, PPDS kemudian. Hari, minggu, bulan, dan tahun datang silih berganti. Tak terasa perjalanan ini sudah tuntas sekitar 75%, menyisakan sekitar 6 bulan ke depan. Banyak hal yang membuat saya mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin benar-benar saya raih dalam hidup. Jadikah saya melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis? Kalau jadi, apa? Kapan? Di mana? Apakah tersedia jalur lain? S2? Mengajar? Apakah masih ada pilihan lainnya?
Sekarang katakanlah saya ingin menjadi spesialis. Sejumlah pertimbangan ada dalam pikiran untuk menentukan spesialisasi yang ingin ditempuh. Saya sudah memutuskan bahwa saya tidak menyukai tindakan. Dengan demikian, saya mencoret pilihan bedah, obgyn, anestesi, THT, dan mata (untuk mata, sebenarnya tugas akhir saya adalah tentang mata, maka seharusnya bisa sedikit meningkatkan probabilitas diterima di bidang ini. Jadi masih 50:50). Saya enggan menangani pasien anak-anak, jadi pediatri juga out. Forensik juga tidak masuk pilihan karena saya malas berurusan dengan hukum. Psikiatri, interna, kardiologi, dan paru-paru berada di urutan paling bawah karena kurang suka. Neuro juga di urutan belakang karena ilmunya yang ruwet, di samping karena sudah diambil kakak pertama saya. Kulit juga tidak kusuka, walaupun sedikit di atas lainnya karena relatif lebih santai.
Untuk masalah minat, minat terbesar saya sebenarnya di bidang sports medicine. Namun saya masih belum mendalami pilihan ini lebih jauh. Di Unair, kudengar topik ini berada di bawah S2 faal. Sebenarnya cukup menarik karena selama di sini saya juga sempat mengajar di SMK kesehatan setempat tentang faal. Namun kalau gelar akhirnya bukan spesialis, prospek ke depan sepertinya kurang sebaik spesialis. Kalau harus meraih gelar S2 dan bukannya spesialis, saya lebih suka sekalian menjajal kemungkinan sekolah di luar negeri. Jadi pilihan ini belum masuk prioritas top. Alternatif lain adalah spesialis ortopedi di Surabaya karena di situ juga dipelajari tentang cedera olahraga. Namun tak perlu saya ulangi mengapa saya enggan memilih alternatif ini. Kabar lain yang kudengar adalah program spesialis kedokteran olahraga (SpKO) ada di Jakarta. Namun saya belum memastikan. Dan kalau toh memang ada, pilihan ini juga tidak masuk prioritas top karena… yah, Jakarta.
Pertimbangan kepribadian, perlu saya sampaikan bahwa saya adalah orang yang lebih suka menghindari interaksi dengan orang lain (termasuk pasien!). Saya juga lebih suka iklim kerja yang tenang dan bebas tekanan supaya bisa sepenuhnya fokus pada apa yang kukerjakan sendiri. Berkaca dari sini, bidang diagnostik tampaknya cukup ideal. Radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan sebagainya. Sebagai tambahan, saya mendengar bahwa sepertinya bidang radiologi memiliki prospek yang cukup cerah ke depan. Sejauh ini, pertimbangan kepribadian tampaknya menjadi pertimbangan terbesar buatku. Dan kalau harus memilih spesialisasi, tampaknya radiologi adalah kandidat utama.
TAPI! Sejauh ini tampaknya saya menulis seakan-akan saya memang akan menjadi dokter spesialis. Memang melanjutkan jenjang pendidikan ke spesialis adalah langkah yang banyak ditempuh oleh para dokter umum. Dan untuk alasan yang masuk akal. Namun itu bukan berarti bahwa jalur itu adalah satu-satunya jalur yang ada. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah aku benar-benar ingin menjadi dokter spesialis? Apakah ada jalur lain yang terbentang?
Saya sudah menyandang gelar dokter dengan segala hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya selama sekitar 3 tahun. Tiga tahun, bukan waktu yang bisa dibilang singkat. Dan apa yang bisa kuceritakan tentang 3 tahun menjadi dokter? Harus aku akui secara jujur bahwa saya merasa tidak berkembang sebagai seorang dokter. Tahun-tahun yang berlalu kulalui dengan perasaan hampa. Sering kali aku pulang dari rumah sakit / puskesmas dengan perasaan exhausted. Biasanya hal itu terjadi ketika menghadapi pasien yang sulit, tetapi tak jarang pula kurasakan bahkan ketika santai!
Bila ada 1 hal yang paling aku inginkan dalam hidup, itu adalah kendali total atas kehidupanku sendiri. Hal itu sudah kumimpikan sejak lama sekali, bahkan sejak sebelum menghitamkan pilihan program studi “Pendidikan Dokter” ketika hendak SNMPTN tahun 2008. Kebebasan untuk keluar-masuk kantor kapanpun kuinginkan tanpa harus khawatir terlambat dan melakukan apapun yang kuinginkan. Menjadi dokter umum biasa berarti menyerahkan kendali itu. Menjadi dokter spesialis pun tidak menjadi lebih baik, walaupun kebebasan finansial tampak mudah diraih.
Yah, semua itu saat ini adalah mimpi. Kenyataan yang kuhadapi tidak berubah. Pendidikan dokter sudah dilalui, gelar dokter sudah diraih. Hal itu sudah menjadi bagian dari identitas dan jati diri. Get up and deal with it. Bila aku sungguh-sungguh benar-benar ingin meraih kendali penuh atas kehidupanku sendiri, berarti aku tidak boleh menjadi sekadar dokter biasa. Aku harus menjadi dokter yang luar biasa dengan berani menempuh jalur yang tidak biasa.
Salah satu buku yang mungkin benar-benar membuatku berpikir serius tentang masa depan adalah Don’t Follow Your Passion karya Cal Newport. Di buku itu, dia menolak gagasan “passion yang sudah ada”. Sebaliknya, dia memperkenalkan konsep “modal karir”. Untuk memperoleh kontrol, terlebih dahulu seseorang harus memiliki modal karir yang memadai. Dan untuk memperoleh modal karir yang memadai, seseorang harus bekerja keras. Tak ada istilah santai-santai. Mungkin suatu saat bila ada kesempatan, saya akan membuat review tentang buku ini.
Kalau aku mencoba melihat kondisiku sekarang berdasar sudut pandang teori ini, saya menyimpulkan bahwa modal karirku sangat jauh dari kata cukup untuk membuatku meraih kontrol. Aku tak punya pilihan lain selain bekerja sangat keras untuk mengembangkan apa-apa yang sudah aku punya. Selain pengalaman dan pengetahuan medis, saya memiliki beberapa hal lain yang barangkali, sekali lagi barangkali, dapat dikembangkan menjadi modal karir yang kuat dan unik. Menulis. Desain grafis dengan coreldraw. Tenis meja.
Hobiku dengan olahraga dan tenis meja merupakan dasar utama aku mempertimbangkan sports medicine sebagai spesialisasi. Namun pengetahuanku tentang studi ini masih dangkal, dan aku harus melakukan penelusuran lebih lanjut. Andaikan pengetahuanku soal studi dan prospek di bidang ini sudah jelas, mungkin aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengambil spesialisasi ini.
Tentang menulis, ceritanya agak berbeda. Tentang menulis, memang benar aku memiliki blog dan masih memiliki kesempatan untuk mengisinya secara berkala, walaupun tidak rutin. Namun saat ini saya pikir blog itu sebagai tempat latihan saja, bukan sebagai pijakan utama dalam berkarir. Bila aku ingin menjadikan skill menulis sebagai modal karir, aku harus membuktikan tulisan-tulisanku layak dijual. Beberapa cara membuktikannya adalah dengan menerbitkan buku dan artikel yang dimuat di media-media ternama — dan dibayar atas itu.
Desain grafis dengan coreldraw juga bernasib sama. Saya pertama kali berkenalan dengan coreldraw saat SMA, dan kemudian sedikit sekali mempraktikannya saat kuliah. Dan sejak saat itu, bisa dikatakan praktik saya menggunakan coreldraw mendekati 0. Baru-baru ini saja saya mulai berlatih lagi. Jika saya benar-benar serius ingin mendalami jalur ini, saya akan menjadi late-starter dan harus menempuh jalan panjang dan sulit untuk catch up sebelum modal karirku ini bisa diakui.
Satu lagi. Setelah semua ini berakhir, aku berharap memiliki tabungan yang lumayan. Selain untuk sekolah, aku berharap dapat menggunakan uang sebagai investasi pemasukan jangka panjang. Ini adalah wilayah asing yang sama sekali belum aku kenal. Akan tetapi, aku bersedia untuk mempelajari hal ini sambil mempraktekkannya.
Hingga saat ini, saya belum memutuskan dengan pasti apa yang akan kulakukan setelah pengabdian ini berakhir. Akan tetapi, sejumlah jalur yang bisa dilihat sudah terpetakan. Dari jalur-jalur yang ada, sama sekali tidak ada jalur yang mudah. Semuanya sulit dan menantang. Masih ada waktu sekitar 6 bulan sebelum semua ini berakhir. Enam bulan, mungkin cukup lama untuk berpikir, tapi tidak cukup untuk memperbaiki dan meningkatkan diri. Sama sekali tak ada waktu untuk disia-siakan, karena aku memiliki cita-cita untuk disegerakan.
Recent Comments